Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in quam. Etiam augue pede, molestie eget, rhoncus at, convallis ut, eros. Aliquam pharetra. Nulla in tellus eget odio sagittis blandit. Maecenas at nisl. Nullam lorem mi, eleifend a, fringilla vel, semper at, ligula. Mauris eu wisi. Ut ante dui, aliquet nec, congue non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris. Duis sed massa id mauris pretium venenatis. Suspendisse cursus velit vel ligula. Mauris elit. Donec neque. Phasellus nec sapien quis pede facilisis suscipit. Aenean quis risus sit amet eros volutpat ullamcorper. Ut a mi. Etiam nulla. Mauris interdum
Saturday, March 27, 2010
Thursday, October 29, 2009
Pusaka Ki Kebo Iwa
Menyambut Tahun Baru 2009 kami mewartakan suatu kejadian yang terjadi setahun yang lalu tepatnya Tanggal; 24 Nopember 2007 yang bagi kami rasanya perlu untuk diwartakan kepada Umat Se-Dharma.
Kejadian ini sangat langka dan benar adanya, dengan kejadian ini menjadikan kita lebih percaya dan lebih menghormati para leluhur atau pendahulu kita yang hebat dan satya dalam wacana,atau alam gaib atau juga ke Maha Kuasaan Ida Hyang Widhi Wasa.
Suatu waktu Ida Dewa mendapat wangsit untuk mengambil keris pajenengan Ki Patih Kebo Iwa di Pantai Selatan yang disimpan oleh Ratu Kidul karena keris tersebut dibuang oleh Ki Patih Gajah Mada dengan maksud dapat mengalahkan Ki Patih Kebo Iwa.
Sumpah Palapa Ki Patih Gajah Mada adalah " Ingin Menyatukan Nusantara " Ki Patih Gajah Mada diturunkan kedunia memang mendapat titah mempersatukan Nusantara, beliau adalah titisan Dewa Wisnu yang terlahir dari rahim seorang ibu yang bernama Patni Nari Ratih putri seorang Pendeta yang bernama Mpu Wiradharma. Putri Mpu Wiradharma ini dipersunting oleh muridnya yang bernama Mpu Suradharma.Setelah menikah Mpu Suradharma bersama istrinya melakukan perjalanan,sampai di tengah hutan istrinya kehausan,disuruhlah suaminya Mpu Suradharma mencari air. Sebelum mencari air di istirahatkanlah istrinya dalam suatu gua. Saat sang suami mencari air,tiba tiba turun Dewa Wisnu ke bumi mengambil wujud mirip seperti Suami Patni Nari Ratih (mpu Suradharma) serta membawa air. Patni Nari Ratih sedikitpun tak menyangka itu Dewa Wisnu yang mengambil wujud seperti suaminya.Dewa Wisnu meminta untuk melakukan hubungan badan layaknya suami istri.Setelah selesai tertidurlah Patni Nari Ratih.Terbangun dari tidurnya tak berapa lama datanglah suaminya (mpu Suradharma).Patni Nari Ratih penuh keheranan,dalam pikirannya yang tadi itu siapa ?bahkan dia menuduh suminya ini adalah siluman,terjadilah pertengkaran,tiba tiba petir menggelegar di ikuti sabda bahwa Dewa Wisnu menitipkan benih di rahim istrinya dan sebelum bayi itu lahir jangan berhubungan badan dengan istrinya.Itulah sedikit cerita tentang Gajah Mada.
Keris Pemasung Sabdo Palon
Suatu tempat yang jauh dari kota dan daerahnya pegunungan nan subur tersebutlah suatu Desa dengan nama Desa Belatungan, di Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan. Disana berdiri sebuah Kedhatuan yang bernama Kedhatuan Kawista. Di tempat ini melinggih seorang penekun spiritual, pemerhati Bali, penulis buku, dll. Leluhur beliau dulunya adalah seorang Raja. Dulu pada jaman penjajahan Belanda leluhur beliau paling dicari oleh belanda untuk dihabisi dan bersembunyilah beliau dihutan belatungan yang sekarang disebut Desa Belatungan. Penekun Spiritual untuk trah Dalem disebut Kedhatuan atau juga bisa disebut Griya.
Kedhatuan Kawista sering dikunjungi oleh tokoh tokoh Spiritual Dunia, ada dari Tibet, India, Kejawen dan belaiau yang berkunjung mengusulkan agar di bangun Yupa karena tempat tersebut sangat cocok untuk di pancangkan Yupa /Lingga.
Mungkin sudah kehendak Ida Sang Hyang Widhi Wasa, ada saja petunjuk dan jalan kearah sana. Pertengahan Januari 2009 Kedhatuan Kawista kedatangan seorang kejawen dari Madura yang bernama Kanjeng Madi yang memiliki Ilmu Daya Putih, menyampaikan ditemukan Yupa /Lingga didaerahnya di Madura. kurang lebih sembilan hari sebelum Hari Siwaratri diangkutlah Yupa itu dari Madura ke Bali dengan mobil tronton. Pemancangan Yupa Tiyang Batu tersebut dilakukan pada hari Selasa pagi Tanggal 20 Januari 2009 dengan Teerpor /Treck dan selesai pada malam hari sekitar jam 22.00. Di plaspas Tgl. 24 Januari 2009 (malam Siwaratri) oleh tiga orang Sulinggih, ada juga Homa /Agni Hotra yang dipimpim oleh para Brahmana. kegiatan tsb sampai pagi hari dilengkapi Dharma Wacana dan Dharma Tula Oleh Ketua PHDI Bali Bapak IGN Sudiana. Ada pertanyaan, Apakah memang benar dalam malam Siwaratri dosa dosa kita bisa dilebur? Nara sumber menjawab, menurut kitab weda Ya bisa dilebur, tapi ada syaratnya, yaitu dalam malam Siwaratri kita harus menjalankan Jagra, Tapa Yoga Smadi dengan benar, contohnya dengan Puja Puji Nama Tuhan (Om nama Siwa ye, japa mantra, dll).
Tanda tanda perubahan jaman sudah banyak mulai tampak dengan dicabutnya keris pemasung Sabda Palon Nayang genggong, dan terangkatnya keris Ki Kebu Iwa. bahwa Hindu akan Bangkit itu akan bisa terlaksana harus dengan perjuangan kita, selain alam yang mengingatkannya.
Tiyang dekat dg sumber berita bahwa sudah banyak orang beralih ke Hindu seperti di daerah Sulawesi ,di daerah Gunung lawu (jawa), di daerah Gunung Tambora dan di Bali sendiri ada umat lain yang sudah melakukan pendekatan. Jumlahnya cukup banyak (ribuan). Di lain pihak ada Umat kita pindah ke agama lain, mari kita berjuang untuk mempertahankan dan mengembangkan Umat, pratisentana yang kritis di millis inilah yang sudah dititahkan untuk tugas nan mulia ini.
Saya attachkan Pusaka yang di pakai memasung Roh Sabda palon Nayang Genggong yang telah dicabut oleh Ida di Alas Purwa dua bulan sebelum Lapindo meledak, dan keris Ki Kebo Iwa dan keris yang lainnya. Sabdo Palon dipasung oleh Wali Songo karena beliau tetap kukuh mempertahankan Hindu. Sedangkan Rajanya Prabu Brawijaya sudah masuk Islam. Beliau mengutuk 500 tahun runtuhnya Majapahit, Hindu akan bangkit dengan di tandai bencana disana sini. Dicabut keris pemasung sabdo Palon karena pemasungannya telah berakhir (selama 500 th).
Foto yang tiyang kirim ini saat penyucian Pusaka Pada Tumpek Landep.
Pancer Jagat Garbhodakasayi
Atharvaveda XII.1.38.
Yasyam sadoha virdhane, yupo yasyaam nimiyate brahmano, yasyamarcantyurgbhih, samna yayurwidah, yujyante yasyamrtwjah somam indrayo patawe.
Artinya :
Dimana didirikannya tempat suci, yang dipancangkanya yupa tiang batu atau lingga, dan dipuja oleh para Brahmana yang menguasai Yayur Weda, dipujanya Tuhan Yang Maha Esa, dengan mantram regweda dan merapalkan Samaweda, disanalah seorang yogi melakukan samadi, melakukannya pada semua musim, tempat ini akan mendatangkan kemakmuran dan keselamatan jiwanya.
Tulisan yang dipahatkan atau ditatah pada Pancer Jagat Garbhodakasayi berbunyi sebagai berikut : "Ini Lingga Garbhodakayasi, sebagai pancernya dunia".
Pada tahun raja caka 1930, yang disebutkan dalam candra sengkala sunia murti nawa natha, pada hari Sabtu Pahing dan Redite Pon Wara Kulantir hari yang baik Siwaratri, tanggal 14, paro petang, didirikanlah lingga Garbhodakasayi Pancer Jagat yang mengucurkan Pancake Tirta Kamandalu, memberikan kemakmuran dunia, yang ditampung dalam wadah yang tak nampak, ditempatkan di Kedhatuwan Kawista, bersemayamnya Naga Bumi.
Sang Hyang Pancer Jagat dilihat oleh Parameswarinya Hyang Tampurhyang, dengan mata mengerling dan alis melengkung bagaikan daun intaran berpura pura marah, sambil bercermin memandang bayang bayangnya menikam yang menghias kepala Naga Raja, dengan indahnya memamerkan lehernya, yang memancarkan cahaya gemerlapan, Hyang Pancer Jagat yang matanya merah seperti angkup bunga Tunjung Nila, karena sangatnya bersemasi, beliau sambil berbaring diatas laut seraya dihormati oleh para Dewa untuk pertolongannya, moga mogalah Hyang Pancer Jagat itu memberikan kebahagiaan kepada kamu sekalian.
Adalah Pulau mulya dan Suci bernama Bali yang tak ada bandingnya, semata mata kepunyaan para Dewa-Dewa, pulau yang penuh dengan tempat pemujaan suci, terutama pemujaan Lingga, tempat yang sangat mulia dan mengherankan, yang didirikannyadi daerah suci nan bening, Kedhatuan namanya, untuk keselamatan dan kemakmuran dunia. Di Pulau Bali ini, yang sangat masyur menjadi mustika diantara tempat manusia lainnya, sekalian orang-orangnya penuh dengan kebaikan, anugrah dan kehalusan budi, semangatlah semua orang menapakkan kakinya di Pulau Sorga ini.
Foto di atas adalah :
Upacara pemelaspasan Lingga Yoni di Kedhatuan Kawista, Desa Belatungan Tabanan pada Hari Siwaratri yang dipuput oleh tiga orang sulinggih dan juga dilaksanakan Homa atau Agni Hotra oleh beberapa orang Brahmana. Tinggi Lingga 5,40 meter dan berat kurang lebih 4 ton dan Lingga ini di dapat di daerah Madura.
Pura Pucak Bukit Mundi
Puncak Bukit Mundi adalah tempat tertinggi di daratan Nusa Penida. Perjalanan ke Puncak Mundi cukup nyaman, permukaan aspal jalan cukup bagus. Hampir keseluruhan perjalanan adalah mendaki dan cukup curam, karena itu diperlukan kondisi kendaraan yang prima. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam. Sesampai di tujuan, semua barang bawaan sebaiknya dibawa serta, karena barang yang ditinggalkan di kendaraan akan menjadi obyek jarahan kera, yang banyak terdapat di lokasi ini. Pada malam hari suhunya cukup dingin. Jika ada acara spiritual yang cukup lama memakan waktu, sebaiknya mengenakan baju penghangat tubuh. Di lokasi ini terdapat dua pura penting yaitu pura Puncak Mundi dan Pura Krangkeng
Pura Krangkeng Kertanadi
Dengan tuntunan dari Spiritual Leader di tempat ini kita dapat menanyakan ada tidaknya leluhur kita yang masih harus menjalani masa untuk tinggal , mencari tahu soroh atau dari klen mana sebenarnya keberadaan kita, Nuntun Leluhur, dan Ngaturang pengayubagia. Tentunya memerlukan persiapan tertentu dan prosesi khusus karena yang seperti ini bukanlah persembahyangan biasa.
Pura Pucak Bukit Mundi
Merupakan pura Penataran Agung dengan jaba sisi, jaba tengah dan jeroan (paling dalam) Ada perbedaan sedikit dari pura lainnya dimana pura ini jaba tengahnya lebih luas dari areal jeroannya sendiri. Ada banyak bale pekemitan baik di jaba sisi maupun di jaba tengah. Persembahyangan umum dilakukan di sini.
Biasanya yang lebih umum, urutan tangkil di Nusa Penida, persembahyangan di Puncak Mundi dilaksanakan sebelum ke Pura Dalem Peed.
Pura Dalem Peed
Dari pura Kerang Kuning, perjalanan berbalik arah, kembali ke pura Dalem Peed melewati lagi rute sebelumnya yaitu pura Gua Giri Putri. Pura Dalem Peed adalah kompleks pura terbesar di Nusa Penida. Sebelum memulai persembahyangan mungkin perlu untuk menyegarkan badan dan mental terlebih dahulu, mengurangi penat akibat dari perjalanan sebelumnya. Seperti biasa, bawaan yang tidak diperlukan hendaknya ditinggalkan di kendaraan, karena terdapat areal parkir yang cukup luas. Di areal sebelah selatan lokasi parkir kendaraan terdapat kamar mandi untuk pemedek yang biasanya mekemit sampai keesokan paginya. Sayang sekali kebersihan dan pemeliharaannya sangat memprihatinkan. Di seberang jalan terdapat warung warung yang menjual makanan, yang juga menyediakan kamar mandi yang disewakan. Setelah beristirahat sejenak acara persembahyangan dapat dilanjutkan.
Di kompleks ini terdapat empat buah pura, yaitu Pura Segara, Pura Taman Sari, pura Ratu Dalem Gede (Mecaling). dan Pura Penataran Agung. Mari kita mulai sesuai urutan di atas.
Pura Segara
Pura ini berlokasi paling dekat dengan laut. Areal pura tidak begitu luas. Dengan suasana pantai dan deburan ombak saat mata terpejam dalam keheningan suara ini membangkitkan vibrasi tersendiri. Acara persembahyangan berlangsung sebagaimana biasanya. Kapasitas pura kira-kira 40 umat.
Pura Taman Sari
Dari pura Segara, kita melanjutkan ke taman begitu kira kira yang bertujuan untuk penyucian. Pura ini berlokasi disebelah timur atau sebelah kanan dari Pura Penataran Agung. Seperti namanya Pura ini dikelilingi oleh kolam yang dibuat cukup dalam, dan areanya juga tidak begitu luas. Kolam di sekeliling pura penuh dengan tanaman teratai yang berbunga indah. Acara persembahyangan biasa. Kapasitas pura sekitar 30 orang.
Pura Dalem Ida Ratu Gede MecalingPura ini ada di sebelah kiri dari Pura Pentaran Agung, di sebelah utara Wantilan. Seperti juga kita lihat Pura Dalem Sakenan, pura dalem linggih Ida (tabik pukulun) Ratu Gede Mecaling ini tidak terdapat banyak pelinggih. Satu pelinggih utama dan disebelah kiri pelinggih penyangga. Kapasitas pura cukup besar. Acara persembahyangan sebagaimana biasanya.
Pura Penataran Agung Dalem Peed
Pura yang lumayan luas dan dengan penataan yang bagus. Terdapat banyak pelinggih berjajar pada sisi sebelah timur dan sebelah utara. Agak ke tengah berdiri sebuah gedong besar. Terdapat Padmasana di timur laut menghadap ke barat daya. Acara persembahayangan dilaksanakan di sekitar areal Padmasana di sebelah utara dari pelinggih gedong tadi.
Ya atmada balada yasya visva
upasate prasisam yasya devah
yasya chaya-amrtam yasya mrtyuh,
kasmani devaya havisa vidhema.
(Rgveda.X.121.2).
Maksudnya:
Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan spiritual (rohani) dan fisikal (jasmani). Semua sinar sucinya yang disebut Deva berfungsi atas kehendak Tuhan. Kasih-Nya adalah keabadian, krodanya adalah kematian. Kami semuanya mengaturkan sembah kepada-Nya.
PURA Dalem Penataran Peed di Nusa Penida itu adalah pura untuk memuja Tuhan Yang Mahakuasa sebagai pencipta Purusa dan Pradana. Purusa itu adalah kekuatan jiwa atau daya spiritualitas yang memberikan napas kehidupan pada alam dan segala isinya. Pradana adalah kekuatan fisik material atau daya jasmaniah yang mewujudkan secara nyata kekuatan Purusa tersebut.
Karena itu umat Hindu berbondong-bondong rajin bersembahyang ke Pura Dalem Penataran Peed untuk mendapatkan keseimbangan daya hidup, baik daya spiritual maupun daya fisikal. Karena hanya keseimbangan peran dan fungsi rohani dan jasmani itulah hidup yang harmonis di bumi ini dapat dicapai.
Pemujaan Tuhan sebagai pencipta unsur Purusa dan Pradana ini divisualkan dalam wujud pemujaan di Pura Dalem Penataran Peed. Visualisasi itu merupakan perpaduan konsepsi Hindu dengan kearipan lokal Bali. Di Pura Dalem Penataran Peed ini terdapat dua arca Purusa dan Predana dari uang kepeng yang disimpan di gedong penyimpenan sebagai pelinggih utama di Pura Dalem Penataran Peed. Arca Purusa Predana inilah yang memvisualisasikan kemahakuasaan Tuhan yang menciptakan waranugraha keseimbangan hidup spiritual (Purusa) dengan kehidupan fisik material (Predana).
Dalam Lontar Ratu Nusa diceritakan Batara Siwa menurunkan Dewi Uma dan berstana di Puncak Mundi Nusa Penida diiringi oleh para Bhuta Kala simbol kekuatan fisik material berupa ruang dan waktu. Bhuta itu membentuk ruang dan Kala adalah waktu. Waktu timbul karena ada dinamika ruang. Di Pura Puncak Mundi, Dewi Uma bergelar Dewi Rohini dan berputra Dalem Sahang. Pepatih Dalem Sahang bernama I Renggan dari Jambu Dwipa -- kompyang dari Dukuh Jumpungan.
Dukuh Jumpungan itu lahir dari pertemuan Batara Guru dengan Ni Mrenggi, dayang dari Dewi Uma. Kama dari Batara Guru berupa awan kabut yang disebut limun. Karena itu disebut Hyang Kalimunan. Kama Batara Guru ini di-urip oleh Hyang Tri Murti dan menjadi manusia. Setelah digembleng berbagai ilmu kerohanian dan kesidhian, dan oleh Hyang Tri Murti terus diberi nama Dukuh Jumpungan dan bertugas sebagai ahli pengobatan. Setelah turun-temurun Dukuh Jumpungan menurunkan I Gotra yang juga dikenal I Mecaling. Inilah yang selanjutnya disebut Ratu Gede Nusa.
Ratu Gede Nusa ini berpenampilan bagaikan Batara Kala. Menurut penafsiran Ida Pedanda Made Sidemen (alm) dari Geria Taman Sanur yang dimuat dalam buku hasil penelitian Sejarah Pura oleh Tim IHD Denpasar (sekarang Unhi) antara lain menyatakan sbb: saat Batara di Gunung Agung, Batukaru dan Batara di Rambut Siwi dari Jambu Dwipa ke Bali diiringi oleh seribu lima ratus (1.500) orang halus (wong samar).
Lima ratus wong samar itu dengan lima orang taksu menjadi pengiring Ratu Gede Nusa atas wara nugraha Batara di Gunung Agung. Batara di Gunung Agung memberi wara nugraha kepada Ratu Gede Nusa atas tapa brata-nya yang keras. Atas tapa brata itulah Batara di Gunung Agung memberi anugrah dan wewenang untuk mengambil upeti berupa korban manusia Bali yang tidak taat melakukan perbuatan baik dan benar sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Di Pura Dalem Penataran Peed ini Ida Batara Dalem Penataran Peed dipuja di Pelinggih Gedong, sedangkan Pelinggih Ratu Gede Nusa berada areal tersendiri di barat areal Pelinggih Dalem Penataran Peed. Pelinggih Dalem Penataran Peed ini berada di bagian timur, sedangkan Pelinggih Padmasana sebagai penyawangan Batara di Gunung Agung berada di bagian utara dalam areal Pura Dalem Penataran Peed. Di Pura Dalem Penataran Peed ini merupakan penyatuan antara pemujaan Batara Siwa di Gunung Agung dengan pemujaan Dewi Durgha atau Dewi Uma di Pura Puncak Mundi.
Dengan demikian Pura Dalem Penataran Peed itu sebagai Pemujaan Siwa Durgha dan Pemujaan Raja disebut Pura Dalem. Sedangkan disebut sebagai Pura Penataran Peed karena pura ini sebagai Penataran dari Pura Puncak Mundi pemujaan Batari Uma Durgha. Artinya, Pura Penataran Peed ini sebagai pengejawantahan yang aktif dari fungsi Pura Puncak Mundi pemujaan Batari Uma Durgha.
Di pura inilah bertemunya unsur Purusa dari Batara di Gunung Agung dengan Batari Uma Durgha di Puncak Mundi. Dari pertemuan dua unsur ciptaan Tuhan inilah yang akan melahirkan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya yang disebut Rambut Sedhana. Baik sarana hidup untuk memajukan kesejahteraan maupun sarana untuk mempertahankan kesehatan dan menghilangkan berbagai penyakit.
Upacara pujawali di Pura Dalem Penataran Peed ini dilangsungkan pada setiap Budha Cemeng Klawu. Hari Budha Cemeng Klawu ini adalah hari untuk mengingatkan umat Hindu pada hari keuangan yang disebut Pujawali Batari Rambut Sedhana. Pada hari ini umat Hindu diingatkan agar uang itu digunakan dengan baik dan setepat mungkin. Uang itu sebagai alat untuk mendapatkan berbagai sarana hidup agar digunakan dengan seimbang untuk menciptakan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya. Uang itu sebagai sarana menyukseskan tujuan hidup mewujudkan Dharma, Artha dan Kama sebagai dasar mencapai Moksha.
Berdasarkan adanya Pelinggih Manjangan Saluwang di sebelah barat Tugu Penyimpanan dapat diperkirakan bahwa Pura Dalem Penataran Peed ini sudah ada sejak Mpu Kuturan mendampingi Raja memimpin Bali. Pura ini mendapatkan perhatian saat Dalem Dukut memimpin di Nusa Penida dan dilanjutkan pada zaman kepemimpinan Dalem di Klungkung. * I Ketut Gobyah
Subscribe to:
Posts (Atom)